Tantangan Struktural dalam Pembelajaran Tentang Waktu
Oleh Yuni Ermaliza (Academic Manager, Academic). Tulisan ini adalah sebuah refleksi dari proses mengikuti Misi Budaya di Eropa selama satu bulan.
–
“Orang Indonesia ngaret”, “Ngaret adalah budayaku”.
Stigma dan label di atas adalah momok yang paling mengerikan, selama persiapan, dan proses mendampingi tim KTF UI untuk Misi Budaya di Europe Folklore Festival 2023.
Satu bulan mempromosikan budaya Indonesia, di beberapa kota bagian utara Spanyol dan selatan Perancis, bersama anggota tim lainnya. Bukan hanya tentang proses pertukaran budaya seni tradisinya saja. Tetapi juga selalu menjadi wadah berharga untuk belajar tentang etos kerja dari negara-negara (maju) yang berpartisipasi.
Sebagai manajer tim yang mewakili Indonesia di festival internasional, selalu merasa tertantang untuk menepis stigma atau label buruk tentang Indonesia. Setiap datang ke festival baru, kami melakukan director meeting bersama presiden dan pengelola festival. Mendiskusikan jadwal untuk seminggu ke depan. Pesan yang sering terdengar adalah “please respect the time”, “please be punctual”, atau “when you do performance more than the minutes, it will affect the other countries”. Sangat tercatat di kepala. Dan memang dampaknya panjang untuk projek yang melibatkan banyak pihak dengan perencanaan yang butuh sangat matang dan merinci ini. Hal ini berlaku bukan hanya soal ketepatan waktu dalam setiap aktivitas, tetapi juga menghargai waktu istirahat yang merupakan bagian penting untuk setiap proses.
Melaksanakan KPI sebagai manajer tim, untuk mengelola tiga puluh tiga orang Indonesia, dengan kebiasaan yang berbeda tentang waktu membutuhkan usaha yang berkali-kali lipat. Bukan berarti tidak bisa lho, ya! Justru karena usaha yang kami lakukan berkali-kali lipat, menjadi apresiasi yang sangat baik dari pihak festival.
Mengapa menantang dan membutuhkan usaha berkali-kali lipat?
Pengamatan ini menghasilkan analisa permasalahan struktural yang berulang pada beragam konteks dan berubah menjadi kebiasaan. Berdasarkan pengalaman pribadi, proses pengenalan tentang waktu, kebanyakan diperoleh melalui sistem sekolah/ pendidikan dan penerapan rutinitas dari rumah. Mari bicara pada konteks yang lebih struktural, sistem sekolah/ pendidikan.
Memang tidak pernah ada mata pelajaran yang spesifik mengajarkan tentang waktu. Kebanyakan dikenalkan melalui jadwal masuk-istirahat-selesai sekolah, jam pembelajaran, jadwal piket, dan rutinitas lainnya, yang penerapannya hingga saat ini masih dengan standar yang berbeda-beda. Tidak heran apabila output / outcome-nya pada setiap murid pun berbeda-beda.
Melihat kenyataan dari pengalaman riset terakhir ke wilayah remote, masih ada (banyak) sekolah yang tidak menetapkan jam masuk yang jelas. Setiap kelas bisa memulai belajar di jam yang berbeda, sesuai dengan jam kedatangan guru, yang juga berbeda-beda. Memang terlalu berat apabila menitikberatkan pembelajaran ini, hanya kepada sistem sekolah/ pendidikan yang juga masih belang-belang. Butuh usaha yang lebih masif didukung oleh sistem-sistem lainnya di Indonesia.
Mungkin banyak yang sering mengalami, ekspektasi tentang waktu seringkali meleset di banyak kejadian. Prediksi durasi keberangkatan yang melenceng, karena di tengah jalan hujan deras, dan ada kubangan banjir. Datang tepat waktu sesuai jam operasional instansi, namun kenyataannya, harus menunggu satu per satu orang instansi berdatangan pada jam tersebut, mengatur peralatan yang dibutuhkan, dan aktivitas lainnya, sampai benar-benar siap beroperasi sebagai. Menyesuaikan jadwal dengan keberangkatan transportasi publik, namun harus menunggu jadwal berikutnya, karena isi penumpang membludak sampai ke pintu. Gambaran kondisi tersebut adalah bagian dari permasalahan struktural, yang familiar kita rasakan, namun berimbas pada pembelajaran penting tentang waktu dan keteraturan yang dapat didukung oleh keteraturan sistem tersebut.
Padahal, penguasaan terhadap waktu menjadi keterampilan penting yang dapat membantu proses adaptasi untuk berkolaborasi di mana pun, bahkan skala internasional. Tercermin selama terlibat pada projek Europe Folklore Festival dengan banyak negara. Kesamaan persepsi tentang waktu, mempermudah proses bekerjasama dengan berbagai pihak dan menunjang efektivitas bekerja.
Contoh yang dapat digambarkan adalah semisal keterlambatan menaiki bus yang menjemput dari penginapan untuk ke lokasi pertunjukan. Seberapa banyak pihak yang dibutuhkan untuk merapikan kekacauan ini? Banyak! LO yang mendampingi tim, panitia yang mengatur jadwal bus, karena bus digunakan bergantian dengan negara lain, dan negara lain yang mungkin berbagi bus dan punya agenda gladi resik lebih dulu. Ditambah lagi berimbas pada jam kerja tim sound yang mengulur dan banyak lagi. Memang tidak heran, setiap director meeting diulang kata “please respect the time”. Kala kita menghargai waktu yang ditetapkan, kita juga menghargai banyak pihak yang terlibat dan seluruh proses di dalamnya.
Sistem yang Mendukung Pembelajaran tentang Waktu dan Alokasinya
Cerita pembelajaran waktu yang menantang, untuk diterjemahkan menjadi persepsi yang sama untuk tiga puluh tiga orang Indonesia. Mungkin tidak terasa menantang, bagi orang-orang yang kami jumpai, dari pihak penyelenggara festival di Eropa. Segala sistem di negaranya sudah lebih rapi dan teratur untuk mendukung pembelajaran tentang waktu dan keteraturan dari usia sedini mungkin.
Sistem yang paling nyata terasa mendidik adalah sistem transportasi yang selalu akurat. Jam tiba kedatangan dengan keberangkatan yang seolah tepat janji. Hal ini dapat dijumpai pada jenis transportasi publik apapun – bus, kereta, perahu, dan lain-lain. Bersyukurnya, perlahan Indonesia punya MRT dengan sistem yang serupa untuk mengedukasi tentang waktu.
Selain ketepatan waktu, sistem yang mengajarkan untuk alokasi waktu demi proses yang lebih produktif dan efektif juga penting. Contohnya adalah negara Spanyol menjadikan istirahat bagian penting dari produktivitas dan efektivitas bekerja.
Hampir seluruh toko, di kota-kota bagian utara Spanyol beroperasi pada jam 09.00 – 13.30, istirahat pada pukul 13.30 – 16.00 atau 16.30, dan kembali beroperasi hingga pukul 20.00. Sistem ini serupa diterapkan pada agenda festival yang kami ikuti di Spanyol. Dampak dari sistem ini sangat terasa baik. Sistem ‘force shut down’ harian ini menumbuhkan budaya tidur siang yang cukup teratur untuk para pekerja atau dikenal dengan istilah siesta time. Sangat terlihat, setiap sore berjumpa dengan LO yang mendampingi kami, mereka selalu dalam keadaan yang segar dengan ekspresi wajah yang menyenangkan untuk kembali bekerja. Pertanyaan how are you di sore hari selalu dijawab dengan menyenangkan “I feel great, I just had my siesta, siesta is always good.”
Sistem-sistem di atas bukanlah sistem pendidikan, namun kontribusinya sangat besar dalam mengakselerasi edukasi, dan standar tentang waktu, serta bagaimana mengalokasikannya dengan optimal. Meminimalisir perubahan rencana yang matang (apabila tidak genting), mengurangi resiko kerugian materi dan non-materi, serta menjadi etos kerja yang universal dalam berkolaborasi dengan berbagai pihak dari latar belakang budaya yang berbeda-beda.